Header Ads Widget

Header Ads

Update

8/recent/ticker-posts

Kemunduran Kualitas Jurnalisme: Antara Kompetensi, Sertifikasi, dan Tantangan Zaman



Catatan akhir tahun 2024 Mahar Prastowo, Wakil Ketua SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Jakarta Timur. Disampaikan sebagai pengantar Diklat Jurnalistik Media Reformasi Indonesia.


Pendahuluan:

Jurnalisme di persimpangan jalan

Jurnalisme, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tanggung jawab besar untuk menyajikan informasi yang akurat, faktual, dan bermakna kepada masyarakat. Namun, di era modern ini, kualitas jurnalisme di Indonesia justru menghadapi tantangan besar. Salah satu penyebab utamanya adalah terjadinya pergeseran paradigma dalam proses perekrutan dan pembinaan insan pers, yang lebih mengutamakan kepemilikan sertifikat uji kompetensi dibandingkan kemampuan teknis jurnalistik.

Fenomena ini menciptakan jurang antara mereka yang "mampu" secara jurnalistik dan mereka yang "mau" mengikuti uji kompetensi. Akibatnya, kualitas pemberitaan sering kali menjadi korban, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pers menurun. Mari kita tinjau secara mendalam penyebab dan dampak kemunduran kualitas jurnalisme di Indonesia dengan merunut sejarah perkembangan jurnalisme sejak masa pra-kemerdekaan hingga era modern.


Sejarah Singkat Jurnalisme di Indonesia

1. Masa Pra-Kemerdekaan: Awal Mula Perjuangan Pers.

Jurnalisme di Indonesia bermula sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme. Pada abad ke-19, muncul surat kabar seperti Medan Prijaji (1907) yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers yang disebut sebagai "Bapak Pers Nasional". Pers pada masa ini menjadi alat untuk menyuarakan penderitaan rakyat dan membangkitkan semangat nasionalisme.

Namun, keterbatasan teknologi cetak dan tekanan dari pemerintah kolonial membuat pers harus bekerja di bawah ancaman pembredelan. Meski demikian, keberanian jurnalis pada masa ini memberikan dasar kuat bagi perkembangan pers di masa berikutnya.

2. Masa Kemerdekaan Pers: Pers untuk Bangsa.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pers memiliki peran penting dalam membangun semangat kebangsaan. Surat kabar seperti Harian Merdeka dan Berita Indonesia menjadi corong pemerintah untuk menguatkan kedaulatan negara. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal profesionalisme dan independensi.

3.Masa Orde Lama: Pers Sebagai Alat Ideologi.

Pada era Orde Lama (1945–1965), pers menjadi alat ideologi pemerintah. Media seperti Suluh Indonesia yang pro-PKI dan Abadi yang pro-Masyumi mencerminkan polarisasi politik yang tajam. Jurnalisme pada masa ini cenderung kehilangan independensinya karena tekanan politik dan ideologi dominan.

4. Masa Orde Baru: Jurnalisme Pembangunan.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pers Indonesia masuk ke era "jurnalisme pembangunan". Media massa diarahkan untuk mendukung program pemerintah dan menghindari isu-isu yang dianggap mengancam stabilitas nasional.

Kontrol ketat melalui Departemen Penerangan membuat pers bekerja di bawah sensor. Meski demikian, beberapa media seperti Tempo dan Kompas tetap berupaya menjaga independensi dengan menyajikan laporan yang berimbang.

5. Masa Reformasi: Kebebasan yang Kebablasan.

Reformasi 1998 membuka keran kebebasan pers yang sebelumnya tertutup rapat. Ribuan media baru bermunculan, membawa semangat kebebasan informasi. Namun, kebebasan ini tidak selalu diiringi oleh peningkatan kualitas jurnalisme.

Media sering kali menjadi alat politik atau bisnis, dan pemberitaan cenderung mengedepankan sensasionalisme daripada fakta. Era ini juga ditandai dengan meningkatnya kasus pelanggaran etika oleh jurnalis dan konflik di tubuh organisasi pers.


Krisis Kompetensi dalam Dunia Jurnalistik.

1. Pergeseran Fokus: Sertifikasi di Atas Kemampuan.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran paradigma di mana perekrutan jurnalis lebih mengutamakan kepemilikan sertifikat uji kompetensi. Meskipun uji kompetensi ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, realitanya banyak peserta hanya mengejar sertifikat tanpa memahami esensi jurnalistik.

2. Fenomena Jurnalis Instan.

Banyak perusahaan media merekrut individu tanpa latar belakang jurnalistik yang kuat, hanya karena mereka memiliki sertifikat kompetensi. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas pemberitaan, karena individu tersebut tidak memiliki dasar teknis yang memadai, seperti kemampuan menulis berita, wawancara, atau analisis data.


Konflik dan Kasus dalam Dunia Jurnalistik.

1. Kasus Pelanggaran Etika.

Beberapa kasus pelanggaran etika jurnalis menjadi sorotan publik. Contohnya adalah jurnalis yang menerima suap untuk mempublikasikan atau menahan berita tertentu. Kasus seperti ini mencoreng wajah jurnalisme dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap media.

2. Konflik di Tubuh Organisasi Pers.

Di tubuh organisasi pers, sering terjadi konflik antara kepentingan idealisme dan bisnis. Contoh nyata adalah dualisme dalam organisasi seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang mencerminkan perbedaan pandangan tentang independensi dan profesionalisme.

3. Pengaruh Kepentingan Politik dan Ekonomi.

Banyak media yang dikuasai oleh konglomerat atau tokoh politik tertentu. Hal ini menyebabkan bias dalam pemberitaan dan hilangnya independensi pers.


Dampak Kemunduran Kualitas Jurnalisme.

1. Penurunan Kepercayaan Publik.

Kemunduran kualitas jurnalistik menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media. Munculnya hoaks dan berita palsu yang sering kali tidak diklarifikasi oleh media utama memperparah situasi ini.

2. Lemahnya Fungsi Kontrol Sosial.

Pers yang seharusnya menjadi kontrol sosial justru sering terjebak dalam konflik kepentingan. Akibatnya, kasus-kasus penting seperti korupsi atau pelanggaran HAM sering kali luput dari perhatian publik.


Langkah Menuju Perbaikan.

1. Penguatan Pendidikan Jurnalistik.

Diperlukan upaya untuk memperkuat pendidikan jurnalistik, baik melalui institusi formal maupun pelatihan di lapangan. Fokusnya harus pada pengembangan kemampuan teknis, etika, dan pemahaman terhadap nilai-nilai jurnalistik.

2. Reformasi Uji Kompetensi.

Uji kompetensi harus dirancang ulang untuk memastikan bahwa hanya individu yang benar-benar kompeten yang mendapatkan sertifikasi. Prosesnya juga harus transparan dan bebas dari konflik kepentingan.

3. Penegakan Kode Etik Jurnalistik.

Organisasi pers harus lebih tegas dalam menegakkan kode etik jurnalistik. Jurnalis yang melanggar etika harus diberikan sanksi yang tegas untuk menjaga integritas profesi.

4. Mendorong Independensi Media

Media harus berupaya menjaga independensinya dari pengaruh politik dan bisnis. Salah satu caranya adalah dengan mendiversifikasi sumber pendapatan dan memperkuat kepercayaan publik melalui pemberitaan yang berkualitas.


Kesimpulan

Kemunduran kualitas jurnalisme di Indonesia adalah persoalan kompleks yang melibatkan banyak faktor, mulai dari sistem pendidikan hingga konflik kepentingan di dalam organisasi pers. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk jurnalis, organisasi pers, pemerintah, dan masyarakat.

Hanya dengan memperkuat kompetensi dan integritas, jurnalisme Indonesia dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang kuat dan terpercaya.