REFORMASI-ID | NTB - Koordinator Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi NTB, Putu Eka Suyantha menyebut, pentingnya legal standing yang akan diusulkan terhadap Tim Pakem beranggotakan diluar instansi Kejaksaan seperti dari unsur TNI-Polri, Dinas Dalam Negeri, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, BIN, dan FKUB pusat berdasarkan setelah dikeluarkannya putusan MK yang memperbolehkan penganut aliran kepercayaan mencantumkan aliran kepercayaannya di kolom KTP dan KK.
Hal itu disampaikan oleh promovendus I Putu Eka Suyantha,S.H.,M.H. dalam Ujian Terbuka dan Promosi Doktor, Program Studi (Prodi) Hukum Program Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Warmadewa (Unwar) dengan judul disertasi “Konstruksi Hukum Model Pengawasan Aliran Kepercayaan oleh Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (Tim Pakem) Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana”.
“jadi kita tim Pakem mengawasi pemeluk agama ini untuk beribadah sesuai Agama dan Keyakinannya secara damai tanpa intervensi dari pihak manapun juga,” jelas I Putu Eka Suyantha, dalam keterangan resminya, Sabtu (24/8/2024).
Mantan Kasi Intel Kejari Denpasar ini memaparkan alasan diperlukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan oleh Tim Pakem Kejaksaan Republik Indonesia, karena sesuai dengan Pancasila yang bersumber pada Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Keberadaannya tidak menerima kemajemukan sebagaimana adanya, tetapi lebih sebagai upaya mencuriagai kemajemukan itu,” paparnya.
Seperti diketahui dalam sistem peradilan pidana, aliran kepercayaan dan aliran keagamaan di Indonesia diawasi oleh tim Pengawasan Aliran Kepercayaan (Pakem) yang dikoordinatori oleh Kejaksaan. Dimana, tim Pakem yang beranggotakan diluar instansi Kejaksaan akan diusulkan untuk mempunyai legal standing berupa Undang Undang yang nantinya dapat bekerja secara efektif, dan sesuai harapan masyarakat untuk menjaga bingkai keberagaman dalam ber-Agama di Indonesia.
Pada perkembangannya secara filosofis keberadaan Tim Pakem dengan Pancasila ini sebagai staatsfundamentalnorm yang membebaskan setiap orang berhak memeluk agamanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945 dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, keberadaan Tim Pakem tidak sejalan dengan tuntutan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Adapun Paradigma pembentukan Tim Pakem adalah pelaksanaan kekuasaan yang otoriter dan sentralistik, sehingga keberadaannya tidak lagi sejalan dengan perkembangan masyarakat saat ini.
Selain itu, keberadaan Tim Pakem juga tidak sejalan dengan spirit kemajemukan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari proses berbangsa dan bernegara.
Dia menyebut pengawasan terhadap aliran kepercayaan oleh Tim Pakem Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang berlandaskan konstitusional di Indonesia, pada awalnya hasil kerja pengawasan Tim Pakem dilaporkan kepada otoritas yang berwenang untuk menyatakan bahwa suatu aliran keagamaan itu menyimpang.
“Otoritas tersebut meliputi MUI, Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) yang diberi kewenangan untuk menetapkan kriteria sesat bagi suatu aliran menurut agamanya masing-masing,” ujarnya.
Setelah aliran kepercayaan tersebut dinyatakan sesat, proses selanjutnya akan diproses melalui Sistem Peradilan Pidana. Kewenangan Jaksa sebagai Penuntut Umum dimulai setelah Kepolisian selesai melakukan penyidikan terhadap aliran kepercayaan tersebut dan kasusnya diserahkan ke Kejaksaan. Setelah dinyatakan P-21 oleh Kejaksaan, selanjutnya Kejaksaan akan menyusun penuntutan terhadap aliran kepercayaan yang telah dinyatakan sesat.
Konstruksi hukum model pengawasan aliran kepercayaan oleh kejaksaan dalam sistem peradilan pidana yang berlandaskan keadilan dan prinsip Hak Asasi Manusia, dengan meninjau kembali keberadaan Tim Pakem mengingat kedudukan Tim Pakem hanya berdasarkan Peraturan Jaksa Agung.
Kemudian kepada Pemerintah khususnya Kementerian Agama disarankan agar kriteria aliran kepercayaan yang dinilai sesat dapat memberikan keadilan bagi 6 agama yang ada di Indonesia.
Pemerintah juga diminta untuk segera menerbitkan regulasi atau peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang (UU) untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang susuai dengan kondisi perkembangan zaman saat ini yang memberikan legal standing kepada Kejaksaan sebagai koordinator Tim Pakem, termasuk ruang lingkup, tugas, fungsi, dan kewenangannya.
“selain itu, disarankan juga adanya pengertian yang jelas tentang aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara termasuk ormas yang di dalam organisasinya melakukan kegiatan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang menyimpang, mengingat ormas yang demikian berpotensi membahayakan bangsa dan Negara,” ungkapnya.
Sementara Dekan Fakultas Pascasarjana Unwar, Prof. Dr. Ni Luh Made Mahendrawati, SH.,M.Hum mengatakan, dari riset yang dilakukan oleh promovendus I Putu Eka Suyantha dinilai riset ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas, khususnya terhadap penganut aliran kepercayaan. Sebab setelah adanya kepastian hukum bagi penganut aliran kepercayaan, mereka mendapat ketenangan di ruang masyarakat.
Juga dipandang pengawasan dalam perspektif positif sangatlah baik, dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh penganut aliran kepercayaan dan aliran keagamaan.
“namun kita pada umumnya di Indonesia menganut Agama, saya kira riset yang dilakukan ini ada beberapa aliran-aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia pada khususnya nampaknya perlu ada pengawasan dalam arti positif, sehingga nanti adanya pengawasan ini tidak ada muncul aliran kepercayaan yang memang menyimpang dari aturan agama yang sudah kita yakini di Indonesia,” katanya.
Namun demikian dinilai terdapat kelemahan pada Tim Pakem yang difungsikan untuk melakukan pengawasan yang dibentuk oleh Kejaksaan berdasarkan peraturan Jaksa Agung Nomor 5 tahun 2019 tentang Tim Pakem. Sehingga diharapkan celah-celah tersebut agar dapat disempurnakan untuk melakukan pengawasan.
“karena berbicara di aturan dan praktik di lapangan kendalanya sangat banyak apalagi menyangkut keyakinan umat, tidak mudah keyakinan umat itu untuk meluruskan sesuai yang diinginkan oleh negara kita dengan menganut Agama kepercayaan masing-masing,” pungkasnya.
Diharapkan manfaat dari riset ini menjadi kontribusi bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi Eka Suyantha yang memperoleh gelar Doktor, juga keilmuannya diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah.
Pada ujian promosi doktor ini, terdapat 9 penguji yang menguji disertasi Eka Suyantha, diantaranya Prof. Dr. Ir. I Gde Suranaya Pandit, M.P selaku Ketua Sidang yang merupakan Rektor Universitas Warmadewa, Prof. Dr. Ni Luh Made Mahendrawati, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Drs. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si, Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S, Dr. INyoman Gede Sugiartha, S.H., M.H, Dr. Drs. I Made Mardika, M.Si, Prof. Dr. INyoman Putu Budiartha, S.H., M.H, Prof. Dr. Drs. I Wayan Wesna Astara, S.H., M.H., M.Hum, Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H. (kbh1).
(red)