REFORMASI-ID | Jakarta - Dwi Purbo salah satu Ketua Dewan Penasehat DPP Prabu Satu Nasional (PSN) tim pemenangan Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024 diduga mendapat tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum polisi.
Tim kuasa hukum PSN, yang diketuai Tengku Raju, SH didampingi Toni Zal, SH, dan Ariel Kurnianida, SH, dalam konferensi pers nya menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan diam dengan kejadian tersebut.
"Kami, DPP Prabu Satu Nasional organisasi yang terdaftar resmi dirumah besar tim pemenangan Prabowo-Gibran tidak akan tinggal diam apabila ada kader atau tokoh internal kami yang didikriminalisasi oleh oknum aparat kepolisian nakal yang menjadi mafia hukum," ujar Toni. saat konferensi pers dikantor PSN, Jln. H. Maridin No.B10/3, RT.10/RW.4, Duren Sawit, Kec. Duren Sawit, Jakarta Timur. Jum'at, 25 Juli 2025.
Dijelaskannya, kasus ini penting diinformasikan ke publik agar tidak terjadi kesalahpahaman dan pembentukan opini yang menyesatkan.
Toni juga mengungkapkan kronologi kejadian yang menimpa Dwi Purbo.
"Kejadian tersebut berawal pada malam 17 Juni 2025, Dwi Purbo tiba-tiba dihubungi Dadan mantan Kadis Perhubungan Cianjur yang meminta beliau (Dwi) untuk segera ke Jakarta," ucap Toni.
Kemudian, lanjutnya, tanggal 18 Juni 2025, Dwi tiba di Jakarta dan malam harinya bertemu Dadan di Grand Indonesia (GI). Disana beliau diperkenalkan kepada seorang yang bernama Rachmat Hidayat (RH) yang mengaku anggota polisi dan menyatakan dirinya dekat dengan pejabat Kejaksaan Negeri Cianjur.
"Dipertemuan tersebut RH menyampaikan bahwa perusahaan Dwi sedang bermasalah proyek PJU Cianjur, RH menekankan akan ada tindakan hukum terhadap direktur jika uang sebesar Rp. 1,5 miliar tidak diserahkan paling lambat tanggal 19 Juni 2025. Jika tidak diberikan kasus akan dilanjutkan Kejari Cianjur," paparnya.
Mendapat perkataan seperti itu, tegas Toni, Dwi kebingungan, karena semua pekerjaan proyek PJU sudah sesuai prosedur yang ada, namun karena mendapat ancaman terus-menerus dan kondisi tertekan akhirnya Dwi pinjam uang untuk memenuhi permintaan RH, bukti transfer pinjam uang ini masih disimpan dan dapat dibuktikan secara hukum.
"Tidak sampai disitu saja, setelah uang Rp. 1,5 miliar diserahkan ke RH perkara tetap berjalan, bahkan muncul berita bahwa Dwi menitipkan uang, seolah-olah melakukan penyuapan, ini sangat merugikan pribadi Dwi dan sebagai Ketua Dewan Penasehat DPP PSN," tambahnya.
"Yang lebih mengejutkan lagi, nama Dwi dicantumkan dalam berita penitipan uang, sedangkan beliau tidak hadir, tidak mengetahui adanya acara tersebut dan tidak pernah menyuruh siapapun termasuk RH dan Yusuf Al Furqaan, untuk menyerahkan uang itu ke Kejari, ini adalah bentuk fitnah terbuka," imbuhnya.
Sekali lagi kami menegaskan, uang Rp. 1 miliar yang masuk ke Kejari bukan bentuk suap atau penitipan sukarela, Dwi tidak pernah memberikan kuasa kepada RH atau siapapun untuk menyerahkan uang tersebut dan ini sudah dikonfirmasi oleh RH saat dikonfrontir di Paminal Polda Metro Jaya.
"Sisa uang Rp. 500 juta yang tidak jelas kemana harus diusut, sudah jelas Dwi adalah korban pemerasan oleh oknum yang mencatut nama institusi Polri," kata Toni.
lanjutnya, untuk itu kami akan mengawal proses hukum ini hingga tuntas demi keadilan dan kami mendesak Kejari Cianjur memberikan klarifikasi terbuka kepada publik mengenai narasi yang beredar.
"Kami juga akan menyampaikan laporan tambahan kepada Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, dan Kompolnas untuk memastikan perlindungan hukum terhadap korban pemerasan dan pembentukan opini sesat," pungkasnya.
(Red)