Oleh: Mahar Prastowo
OPINI -- Pemerintah kembali memainkan kebijakan yang sejak awal tidak pernah ditopang oleh ekosistem industri yang sehat: Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kali ini, alih-alih memperbaiki kelemahan implementasi, yang dibahas justru pelonggaran atau bahkan penghapusan total. Alasannya? Demi daya saing global.
Pemerintah berdalih, TKDN membuat Indonesia kalah kompetitif. Ini adalah alasan yang malas dan terlalu disederhanakan. Daya saing tidak dibentuk oleh satu instrumen kebijakan saja. TKDN bukan kambing hitam atas lambannya investasi atau rendahnya ekspor. Justru ia merupakan pernyataan tekad industrialisasi yang terlalu dini ditinggalkan sebelum matang.
Pengusaha makanan-minuman dan elektronik, yang selama ini menikmati efek lanjutan dari belanja pemerintah melalui mekanisme TKDN, kini ketar-ketir. Dan mereka punya alasan kuat. Ketika pemerintah menghentikan keberpihakan yang strategis kepada industri lokal, maka efek dominonya jelas: utilisasi turun, tenaga kerja terpangkas, dan minat investasi ikut luntur.
Namun, bukan berarti TKDN tidak punya cacat. Implementasinya sering tambal sulam, minim pengawasan, dan menjadi ladang rente. Tapi solusinya bukan mencabut, melainkan mereformasi. TKDN seharusnya menjadi insentif murni, bukan pemaksaan administratif. Berikan stimulus fiskal bagi produsen lokal yang mampu bersaing, bukan hanya label TKDN semata.
Prabowo menyebut TKDN sebagai bentuk nasionalisme yang harus direvisi demi realisme pasar. Pernyataan ini menggambarkan kebingungan orientasi: antara idealisme industrialisasi dengan obsesi angka pertumbuhan jangka pendek. Padahal negara-negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat yang mengkritik kita, justru tengah kembali ke strategi protektif demi menyelamatkan industrinya dari deindustrialisasi.
Yang terjadi hari ini adalah ironi: Indonesia yang belum selesai membangun fondasi industrinya, justru menyerahkan begitu saja pasar dalam negerinya kepada produk impor dengan dalih fleksibilitas.
Penghapusan TKDN bukan langkah reformis, tapi bentuk kegagalan membenahi sistem. Ini bukan reformasi struktural, ini kapitulasi ekonomi.
Apakah pemerintah siap kehilangan lapangan kerja? Apakah kita rela kembali menjadi pasar barang jadi dari negara lain? Atau, lebih menyakitkan lagi, apakah kita tengah kembali ke masa kolonialisme ekonomi—di mana sumber daya kita diperas, tapi nilai tambah tetap dibuat di luar negeri?
Industri bukan dibangun dari ketakutan, tapi keberpihakan yang konsisten. Tanpa itu, jangan mimpi kita akan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
[]