REFORMASI-ID| Bekasi - Tarik-ulur pengelolaan parkir RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid (RSUD CAM) Kota Bekasi makin memicu tanda tanya. Dalam rapat antarinstansi pada 16 Juli 2025 di Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi, yang dipimpin langsung Kepala Dishub, disepakati dua poin penting yang akan dilaporkan kepada Wali Kota: Mekanisme pemanfaatan lahan parkir oleh BPKAD dan nama calon pihak swasta yang akan mengelola secara permanen.
Batas waktu penyampaian 2 poin ini ditetapkan hingga 23 Juli 2025. Namun hingga lewat tanggal tersebut, dua poin krusial tersebut tak kunjung disampaikan, dan tidak ada pengumuman resmi soal mekanisme maupun siapa calon pengelolanya.
Padahal sebelumnya, pengelolaan parkir RSUD dilakukan lewat sayembara/lelang terbuka. Skema ini kemudian bergeser menjadi kerja sama melalui Setda. Belakangan, setelah lewat 23 Juli, arah kebijakan justru kembali ke mekanisme sayembara/lelang—namun dengan dugaan kuat prosesnya akan dijalankan Dishub, bukan RSUD CAM sebagai pemilik aset yang berstatus BLUD.
Status BLUD memberi RSUD kewenangan mengatur pendapatan dan pemanfaatan asetnya sendiri. Permendagri 79/2018 juga menegaskan pengelolaan harus dilakukan langsung oleh instansi pengelola aset, bukan pihak lain. Jika lelang dilakukan Dishub, ini berarti ada pergeseran otoritas yang tidak lazim.
Sekretaris Suara Keadilan (SAKA), Ajo, menilai perubahan arah ini mereduksi transparansi dan membuka ruang manuver di belakang layar.
“Dulu sayembara dilakukan terbuka dilakukan RSUD CAM, semua bisa ikut. Sekarang bolak-balik skema dan ujungnya diduga Dishub yang eksekusi. Kalau Dishub yang lelang, apa dasar hukumnya?” tegasnya.
SAKA juga menyoroti sikap RSUD yang pasif dan seakan pasrah menyerahkan proses pada Dishub, seolah hanya “menerima beres” asal tetap kebagian bancakan.
“Kalau benar dugaan ini, Dishub yang akan menetapkan pengelola dengan kontrak yang berdurasi bertahun-tahun, itu rawan bancakan. RSUD seharusnya memimpin proses ini, bukan diam,” tambah Ajo.
Potensi pendapatan dari parkir RSUD CAM tidak kecil. Dengan estimasi 1.000–1.500 kendaraan per hari dan tarif Rp. 3.000–Rp. 5.000, perolehan harian bisa mencapai Rp 7–10 juta, atau lebih dari Rp. 200 juta per bulan. Namun nilai kontrak dan pola bagi hasil masih tertutup dari publik.
Sementara itu, fasilitas parkir juga masih jauh dari layak. Banyak titik belum dicor sehingga becek saat hujan, dan penataan kendaraan di area parkir rumah sakit masih semrawut.
“Ini bukan cuma soal uang parkir. Tapi pelayanan, kenyamanan, dan keterbukaan pengelolaan aset publik,” ujar Ajo.
SAKA mendorong Wali Kota dan DPRD Bekasi memastikan proses lelang dilakukan terbuka oleh RSUD CAM sebagai BLUD, sesuai regulasi.
“Kalau dibiarkan Dishub yang ambil alih, ini preseden buruk. Publik berhak tahu setiap rupiah dari parkir harus kembali untuk pelayanan rakyat, bukan bancakan segelintir pihak,” pungkasnya.
(**)