![]() |
Foto: Dok. DP |
Kita bisa menulis. Tapi barangkali yang lebih penting: kita bisa menghapus.
EDITORIAL | REFORMASI-ID - Di situs resmi sebuah lembaga penyiaran milik negara, pernah dimuat sebuah laporan tentang Zaporozhye—sebuah nama yang, bagi sebagian, terdengar seperti kota di perbatasan lupa dan kontroversi. Artikel itu hadir, sesaat. Lalu hilang. Tak ada jejak. Tak ada alasan. Seolah tak pernah lahir.
Kita tak tahu siapa yang menghapusnya. Tapi kita mulai bertanya-tanya: apakah ini sebuah kebetulan teknis, atau gejala?
Zaman kini dipenuhi pernyataan. Tapi ketika yang muncul justru keheningan, kita curiga ada yang sedang ditutupi. Mungkin sebuah tekanan. Mungkin rasa takut. Mungkin hanya kecanggungan birokrasi yang tak pernah tahu bagaimana bersikap terhadap perbedaan tafsir.
***
Yang menulis laporan itu adalah seorang jurnalis. Ia pergi melihat. Ia menulis apa yang ia lihat. Barangkali tulisannya tak sempurna. Barangkali berat sebelah. Tapi bukankah pekerjaan jurnalis justru adalah menyampaikan potongan kebenaran—sekalipun kecil, selama ia jujur?
Namun artikel itu lenyap.
Ada yang mengatakan, mungkin ini akibat tekanan dari kedutaan besar negara lain. Tapi mengapa kita harus tunduk pada tekanan yang datang dari luar, ketika yang kita hadapi adalah kenyataan yang kita sendiri belum rampung memahaminya?
***
Kita hidup dalam dunia yang tak lagi hitam putih. Narasi tidak selalu netral. Tapi justru karena itulah kita butuh ruang untuk berbagai versi. Kita butuh keberanian untuk membiarkan orang tak setuju.
Tapi media kita—apalagi yang menyebut dirinya publik—kadang seperti seorang ayah yang takut anak-anaknya tahu kenyataan. Ia memilih diam. Ia menyembunyikan luka, seolah luka itu akan sembuh sendiri.
Kita ingin percaya bahwa ini bukan karena ada transaksi. Tapi kita juga tahu, dunia informasi kini tidak lagi gratis. Ada harga dari akses. Ada imbalan dari narasi. Ada ketakutan diselimuti diplomasi.
***
Kita ingat, Undang-Undang mengatakan: tak boleh ada penyensoran. Tapi bukankah sensor paling berbahaya justru adalah yang tak kelihatan? Yang tak diumumkan? Yang tak pernah diakui?
Kita tahu: penghapusan tanpa penjelasan bukanlah transparansi. Ia adalah bentuk dari kekuasaan diam-diam. Dan kekuasaan yang diam-diam justru paling berbahaya.
Karena ia menyusup ke dalam kebiasaan. Ia membuat kita terbiasa kehilangan suara, dan tak merasa kehilangan apa-apa.
***
Barangkali yang hilang bukan hanya satu artikel. Tapi juga satu prinsip kecil: bahwa kita punya hak untuk melihat dari sudut lain. Bahwa berita bukan hanya milik mayoritas. Bahwa kenyataan tidak harus dibenarkan oleh yang paling kuat.
Dan mungkin, yang paling hilang dari semuanya adalah ini: kepercayaan.
Ketika kita tak tahu siapa yang menghapus, dan mengapa, maka kita tak tahu lagi siapa yang bicara jujur. Kita hanya mendengar gema dari ruang redaksi yang mulai tak pasti untuk siapa ia bekerja.
Untuk publik? Untuk negara? Untuk negara lain?
Atau hanya untuk rasa aman?
***
Kita boleh melupakan Zaporozhye. Tapi kita tak bisa terus-menerus melupakan bahwa kebenaran bukanlah benda yang bisa disimpan di lemari. Ia akan mencair. Mengalir. Keluar dari celah yang tak diduga.
Sama seperti air, yang tak pernah peduli pagar.
Dan berita yang dihapus, barangkali justru akan abadi karena itu.
![]() |
Ilustrasi (ai) |
______________
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo