Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Update

8/recent/ticker-posts

Rahman Sabon Ingatkan Presiden Jokowi: Tunda Pemilu 2024 dengan Dekrit Presiden Atau Kudeta Militer dan Revolusi Rakyat


REFORMASI-ID | Jakarta - Pengamat politik senior Dr. Rahman Sabon Nama mengingatkan pada Presiden Joko Widodo bahwa penundaan Pemilu hanya bisa dilakukan apabila situasi negara dalam keadaan konflik. 

Sekarang ini menurut Rahman, negara dalam keadaan aman-aman saja, sehingga apabila Pemilu 2024 ditunda, maka jelas-jelas Presiden Joko Widodo melanggar konstitusi UUD 1945.  

"Risikonya berat, akan terjadi cheos lalu rakyat akan bergerak melengserkan Jokowi. Di sini perang saudara bisa terjadi," kata alumnus Lemhanas itu, Selasa (1/3) tadi.

Menurut Rahman pilihan solusif untuk menyelamatkan negara dari risiko tertundanya keberlangsungan  demokrasi  2024 untuk memilih anggota DPR/MPR, DPD dan DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, salah satunya adalah melalui Dekrit Presiden. 

Yang menjadi pertanyaan, lanjut Rahman, mana yang ongkos politiknya lebih ringan di antara (pilihan) Dekrit Presiden dan terjadi Kudeta Militer bahkan Revolusi Rakyat.

Yang pasti, konsekwensi atau risiko dari pilihan-pilihan itu adalah membunuh atau membantai  keberlangsungan hidup dan kehidupan demokrasi.

Menurut Rahman  risiko yang terbilang terkecil di antara kedua pilihan itu adalah Dekrit Presiden walau berisiko pula membajak kehidupan demokrasi sehingga presiden dinilai bertindak diktator, namun bisa dibatasi oleh Dekrit Presiden itu sendiri upaya hukum khusus yaitu suatu upaya bela diri menyelamatkan negara dari ancaman yang mendesak sehingga tidak ada pilihan lain. 

"Dalam teori hukum tatanegara menurut Prof. Yusril Izha Mahendra disebut : Staatsnoodrecht Subyectieve, tidak ada alasan dalam  situasi negara saat ini dikeluarkan Dekrit," ungkap Rahman.

Oleh karena itu menurutnya, daripada risiko menunda Pemilu, melanggar konstitusi UUD 1945  yang dapat melengserkan Presiden Jokowi atau dapat di Kudeta Milter, maka pilihan terbaik demi tegaknya demokrasi adalah lewat Dekrit Presiden. 

Rahman mengatakan, "Ada beberapa pertanyaan publik, dari para ulama dan rekan purnawiran TNI/Polri-pada saya: Apakah mungkin ada potensi terjadi Kudeta Militer? Saya jawab iya! Bahwa, potensi Kudeta Milter di negeri kita bisa terjadi seperti terjadi di Republik Fiji dengan terpilihnya Perdana Menteri dari keturunan India, Mahendra Chaundry.

Menurut Rahman, naiknya Mahendra Chaundry sebagai Perdana Menteri dirasakan rakyat Fiji sebagai ketidak-adilan terhadap pribumi Fiji, sehingga militer Fiji dibawah pimpinan George Speight yang etnis pribumi Fiji tidak rela dipimpin etnik pendatang India, dengan alasan, untuk melindungi rakyat pribumi Fiji, maka militer mengambil alih pemerintahan sipil. 

Lebih jauh Rahman mengisahkan,  "Saya teringat peristiwa 21 Mei 1998 ketika sehari Presiden BJ. Habibie dilantik menjadi Presiden RI, beliau mengatakan dalam bahasa Inggris tanpa teks di depan Forum Editor Asia-Jerman bahwa beliau terancam dikudeta oleh Panglima Kostrad Letjen. TNI Prabowo Subianto, terindikasi dengan konsentrasi pasukannya di beberapa tempat strategis termasuk sekitar rumah BJ. Habibie".

Rahman juga menjelaskan ketika dia meyakinkan Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) ketika lahirnya Dekrit Presiden Gusdur tahun 2001.

Rahman menyampaikan bahwa ketika negara dalam keadaan bahaya konstitusi negara terancam, maka untuk menyelamatkan konstitusi negara, dia mempimpin delegasi 81 Parpol Non Kontestan Pemilu 99 bertemu Presiden Abdurahman Wahid di Istana Negara pk. 15.00 sore ( 22 Juli 2001). Presiden Gus Dur didampingi Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak dan Sekmil Presiden Masrma TNI Budhi Santoso. 

Perdebatan dengan Presiden Gusdur dan Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak sekitar alasan hukum yang dapat dijadikan landasan diterapkannya Dekrit Presiden Gusdur. 

Semula Presiden Gusdur ragu-ragu karena Jaksa Agung menyatakan bahwa belum ditemukan alasan hukumnya untuk di terbitkan Dekrit. 

Tetapi Rahman dan kawan-kawan meyakinkan Presiden Gusdur bahwa situasi negara dalam keadaan darurat subyektif atau dalam keadaan bahaya mengarah pada cheos sehingga Presiden Gusdur dapat menerapkan teori Subyective Staatsnoodrecht yang mengancam keselamatan bangsa dan negara, sebagai hak membela diri seorang kepala negara. Akhirnya Presiden Gusdur setuju untuk mengeluarkan Dekrit Presiden Gusdur thn 2001.

Hal demikian menurut Rahman, juga bisa  berlaku  untuk Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan demokrasi dan keutuhan integritas NKRI dan dapat memperpanjang masa jabatannya, maka  dapat menggunakan wewenangnya sesuai dengan perintah UUD 1945 pasal 10. Hanya ada dua pilihan yang mungkin bisa dilakukan sebagai jalan keluar yaitu dengan ongkos politiknya lebih ringan yaitu lewat Dekrit Presiden dengan pembatasan waktu enam bulan dengan mempercepat pelaksanaan Pemilu.  

Mungkin cara ini bisa dilakukan oleh presiden Joko Widodo untuk memperpanjang masa jabatannya, tetapi resikonya ada dua kemungkinan bisa terjadi yaitu :

Pertama : Kudeta Militer.

Kedua : Revolusi Rakyat. 

"Apabila terjadi Revolusi rakyat, maka Triumvart tidak berlaku karena Menhankam, Mendagri  dan Menlu adalah kabinet dari Presiden Joko Widodo. Pemimpin revolusi rakyat yang menentukan jalannya pemerintahan dapat menunjuk seseorang menjadi Presiden pemerintahan peralihan yang ditugaskan untuk menyelenggarakan Pemilu dipercepat (6 bulan) dan menyaring Partai Politik baru sebagai peserta Pemilu," jelas pria asal pulau Adonara NTT itu.

[***/TB]