Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Update

8/recent/ticker-posts

Membebaskan Penyandang Disabilitas dari Vonis Pidana Mati, Fredrik J. Pinakunary Mengajukan Permohonan Grasi PPHKI

REFORMASI-ID | Jakarta - Kerja keras selama tiga tahun lebih kini berbuah manis, Virianto, yang sudah divonis hukuman mati dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)  itu akhirnya bisa bebas dari hukuman mati. Adalah Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI) di bawah kepimpinan Fredrik J Pinakunary S.H., S.E. bertindak sebagai Penasihat Hukum Virianto setelah persidangan berakhir dan perkara telah berkekuatan hukum tetap. Ditemui saat jumpa pers di sebuah kantor di Trust Building, Keramat 2 No 52 A, Jakarta Pusat. Fredrik J Pinakunary Ketua umum yang di dampingi Arnold Hasudungan Manurung S.H., M.H. Sekretaris Jenderal PPHKI terlihat sumringah. Sabtu, (19/06/2021).

Dengan berbinar dikatakan Fredrik bahwa di awal tahun 2018, ibu Mardiana, Bendahara Umum PPHKI mengadakan kegiatan pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pontianak. Saat pelayanan tersebut beliau bertemu seorang narapidana muda penyandang tuna rungu dan tuna wicara (disabilitas) bernama Viriyanto yang telah dijatuhi hukuman mati. 

"Pembunuhan adalah perbuatan kejam dan melanggar hukum. Tidak ada pembenaran untuk itu", kata Fredrik. Namun demikian,  sebagai praktisi hukum, PPHKI tergelitik musababnya kenapa anak disabilitas yang ketika itu masih berusia 19 tahun tega atau berani melakukan pembunuhan terhadap paman, bibi dan ketiga anak mereka dengan senjata tajam.
Pembunuhan itu berujung vonis hukuman mati yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Artinya seluruh upaya hukum secara formil sudah berakhir karena Virianto telah dihukum mati mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung.

“Saya pikir kalau bicara hukum, bukan pada tempatnya bagi kita untuk berargumentasi atau mengajukan pembelaan, karena putusan pengadilan sudah in kracht, maka yang PPHKI lakukan adalah menggugah sisi kemanusiaan dari yang terhormat Bapak Presiden Jokowi, dengan cara  mengajukan grasi agar hukuman mati diubah menjadi hukuman penjara, dan puji Tuhan permintaan kami dikabulkan," jelas pengacara muda yang cerdas ini. 

Jawaban yang diberikan Presiden bentuknya Keputusan Presiden (Kepres) jadi nama PPHKI itu sudah masuk Kepres. Kepres itu mengabulkan permohonan PPHKI sehingga Virianto sekarang bebas dari hukuman mati.

Tentu saja agar memperoleh grasi dari Presiden, PPHKI berusaha secara maksimal untuk mengetuk pintu hati Presiden terutama dari sisi kemanusiaan dan juga aspek hukum yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan bagi Presiden dalam mensikapi grasi yang kami ajukan. 

Dari sisi hukum, kami melihat kembali proses persidangan dengan keterbatasan Virianto yang tak bisa bicara dan mendengar harusnya ada penterjemah bahasa isyarat baginya agar dapat memberikan keterangan tentang tindakan tersebut secara detail, termasuk motif dan pengaruh apa di balik pembunuhan yang ia lakukan.

Ternyata, dalam persidangan yang diadakan di lembaga peradilan di Kalimantan Barat, tidak ada penterjemah isyarat yang seharusnya disedikakan untuk menjelaskan keterangan Virianto. Oleh karena itu, menurut Fredrik tidak bisa diungkap dan ditemukan motif atau alasan sesungguhnya di balik pembunuhan atas lima orang yang masih termasuk keluarga dekatnya. Sekali lagi, kami tidak membenarkan bahkan memgecam tindakan pembunuhan yang dilakukannya.
Sebagai Penasihat Hukum, Fredrik juga bertemu langsung dengan Virianto di LP Pontianak. Fredrik menjelaskan bahwa ketika dulu masih di Sorong, Papua, dia memiliki saudara sepupu, bernama Rudy Kaliele yang tuna rungu dan tuna wicara sama persis dengan Virianto, sehingga Fredrik bisa berkomunikasi lebih dari satu jam ketika bertemu Virianto di LP Pontianak, tanpa dibantu penterjemah bahasa isyarat. 

Menurut Fredrik ada bahasa isyarat bagi tuna rungu dan tuna wicara yang diajarkan atau dilatih secara resmi seperti yang sering kita lihat di berita dalam televisi. Hal ini bisa dimengerti oleh mereka yang pernah mengikuti pelatihan tersebut. Tapi ada juga tuna rungu dan tuna wicara di daerah-daerah seperti di Papua dan Kalimantan yang "tidak beruntung" karena tidak mempunyai akses atau kesempatan mempelajari bahasa isyarat tersebut. Sebagai jalan keluarnya, mereka hanya bisa berkomunikasi ala Tarzan. Itulah yang telah Fredrik lakukan selama belasan tahun dengan sepupunya ketika masih di Sorong, Papua. Adapun Virianto, sama seperti sepupu Fredrik yang hanya bisa "berkomunikasi ala Tarzan," ujar Fredrik berseloroh,

Dalam komunikasi antara Fredrik dengan Virianto, ditemukan alasan mengapa dia tega melakukan tindakan kejam itu. Menurut Virianto, dia mengalami perundungan (bullying) yang dilakukan pamannya (korban) selama berlasan tahun,  di mana perlakuan itu sangat "menyakitkan" dan menimbulkan dendam yang dalam. Semua sakit hatinya itu dipendam, dengan pemikiran bahwa di suatu saat nanti, ketika dewasa, dia akan membalas dendam, tanpa kejelasan bagaimana bentuk pembalasan dendam yang bakal dia lakukan. Kira-kira itu yang dapat dimengerti oleh Fredrik dalam komunikasinya secara langsung dengan Virianto pada tahun 2018 di LP Pontianak.

Virianto juga menjelaskan kepada Fredrik bahwa sebelum pembunuhan dilakukan, ada seorang teman yang mendatanginya di malam hari dengan membawa sebuah pil. Setelah Virianto menenggak pil tersebut timbul rasa pusing di kepalanya, sekaligus keberanian baginya untuk membalaskan dendam kepada pamannya yang sedang tidur di rumahnya, di Sambas, Kalimantan Barat.

Persoalannya, semua ini tak terungkap secara jelas dalam persidangan, belum lagi kemarahan warga Sambas yang mengharapkan Virianto dihukum seberat-beratnya atas tindakan pembunuhan yang dilakukan terhadap paman serta bibi dan ketiga anak mereka.

Terlepas dari itu semua, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kami lebih menitikberatkan pada aspek kemanusiaan dari pada aspek hukum dalam Permohonan Grasi kepada Presiden.

Selanjutnya, PPHKI mengajukan permohonan untuk beraudiensi dengan para pejabat terkait, baik di Mahkamah Agung maupun di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mengetahui perkembangan Permohonan Grasi tersebut. 

Dalam pertemuan dengan para pejabat tersebut,  kami dijelaskan secara formil tentang langkah-langkah apa saja yang dilakukan setelah mereka menerima Permohonan Grasi. Terdorong dari rasa kemanusiaan, dan fakta persidangan yang dipandang kurang adil bagi Virianto, sekalipun harus menunggu dalam waktu yang cukup lama dan melewati proses yang panjang, PPHKI terus melakukan monitor kepada instansi terkait dengan harapan grasi dikabulkan Presiden. 

Dalam proses audiensi dengan pejabat terkait, PPHKI diinformasikan bahwa pihak yang bertugas dari Kemenkumham Jakarta telah mengunjungi LP Pontianak dan berbicara secara langsung dengan pejabat LP tersebut untuk menggali informasi tentang Virianto selama di LP, termasuk sikap dan perilakunya selama menjalani masa tahanan, sembari menunggu eksekusi mati.

Pejabat yang bersangkutan itu kemudian membuat analisis atau kajian dari hasil kunjungan mereka dan menyampaikan hasil kajian itu kepada Presiden melalui Sekretariat Negara.

“Puji Tuhan, beberapa hari lalu kami menerima kabar baik dari rekan PPHKI di Pontianak bahwa Keppres itu sudah dikirimkan ke LP Pontianak dan isinya menerima grasi kami dan mengubah hukuman mati terhadap Virianto menjadi pidana penjara seumur hidup. "Kami sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah mengabulkan grasi yang kami ajukan", lanjutnya bangga.

Fredrik menambahkan bahwa grasi berasal dari kata grace yang berarti.kasih karunia. Dalam permasalahan ini kita mengucapsyukur atas kasih karunia Tuhan yang telah mengetuk dan membuka pintu hati Bapak Presiden yang telah "menyelamatkan" satu nyawa manusia dari vonis hukuman mati.

"Tuhan memberkati yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo, Tuhan memberkati Indonesia", demikian kata Fredrik menutup pertemuan kami.